Maksum.web.id - Kita sering mendengar istilah maksum—sebuah konsep yang melekat pada para nabi, seolah mereka hidup dalam gelembung kesempurnaan yang jauh dari realitas manusia biasa. Tapi benarkah maksum berarti hidup tanpa jejak keliru? Atau justru di situlah letak keindahannya? Mari kita telusuri dengan santai, tapi penuh makna.
Maksum itu Bukan Robot, Tapi Manusia yang Terjaga
Bayangkan jika nabi-nabi itu seperti karakter dalam game yang kebal terhadap semua serangan:
- Nabi Musa tidak akan pernah marah, padahal kita tahu bagaimana beliau melemparkan lembaran Taurat saat melihat kaumnya menyembah patung sapi.
- Nabi Yunus tidak akan pernah merasa lelah, padahal beliau sempat "kabur" dari tugas sebelum akhirnya belajar tentang sabar di dalam perut ikan.
Maksum bukan berarti tanpa emosi, tanpa lelah, atau tanpa salah. Maksum adalah tentang bagaimana kesalahan dan kelemahan itu tidak mengotori misi suci yang mereka emban.
Mereka tetap manusia, tapi dengan filter ilahi yang mencegah mereka jatuh dalam dosa besar atau kesalahan fatal dalam menyampaikan agama.
Filosofi Dibalik Kesucian yang Tidak Sempurna
Ada pelajaran menarik dari cara Islam memandang maksum:
Allah Menjaga Kredibilitas Utusan-Nya
Bayangkan jika nabi bisa berdusta atau berkhianat dalam menyampaikan wahyu. Agama akan menjadi kacau. Maksum adalah quality control ilahi agar pesan langit tetap murni.
Kesalahan Kecil Justru Membuat Mereka Lebih Relate
Kisah Nabi Adam yang lupa, Nabi Musa yang terlalu keras, atau Nabi Muhammad yang pernah ditegur dalam Al-Qur'an—semua itu menunjukkan bahwa para nabi juga pernah "kecolongan" dalam hal duniawi, tapi selalu dikoreksi sebelum menjadi dosa. Ini membuat kita bisa belajar dari mereka tanpa merasa terintimidasi oleh kesempurnaan yang tak terjangkau.
Maksum itu Bukan untuk Ditiru, Tapi untuk Dipahami
Kita tidak dituntut untuk maksum seperti nabi. Kita hanya diminta berusaha mendekati nilai-nilai itu: jujur, amanah, dan terjaga dari dosa besar. Sisanya? Taubat dan terus memperbaiki diri.
Lalu, Apa Artinya bagi Kita yang Bukan Nabi?
Jangan Menuntut Diri untuk Sempurna
Jika nabi saja pernah khilaf dalam hal kecil, apalagi kita? Yang penting adalah mengakui kesalahan, belajar, dan bangkit lagi.
Tapi Jangan Juga Meremehkan Dosa Kecil
Nabi dijaga dari dosa besar, tapi kita tidak. Maka, jangan anggap enteng kebiasaan bohong, ghibah, atau curang hanya karena "yang penting nggak zina atau bunuh orang".
Ambil Semangatnya, Bukan Tekanannya
Lihatlah bagaimana para nabi menghadapi ujian:
- Nabi Ayub sakit parah tapi tetap sabar.
- Nabi Yusuf digoda tapi memilih menjaga kehormatan.
Kita tidak harus maksum untuk meneladani keteguhan mereka.
Penutup: Maksum itu Seperti Pelampung di Lautan Godaan
Para nabi diberi pelampung agar tidak tenggelam dalam dosa, sedangkan kita? Kita diberi dayung bernama akal, wahyu, dan taubat untuk terus berenang ke arah yang benar.
Jadi, jangan iri pada kesucian para nabi, tapi tirulah keteguhan mereka. Jangan pula meremehkan diri karena sering jatuh, tapi bangkitlah seperti mereka yang selalu diberi ampunan.
#MaksumBukanUntukSempurna #TapiUntukTerusBerproses
"Kesucian bukan berarti tanpa noda, tapi tentang seberapa cepat kita membersihkannya."
Posting Komentar